Selasa, 26 April 2011

Pesan Moral : Orang tua dan anak


Ketika iseng membaca sebuah artikel, tiba-tiba saya tertarik pada pepatah klasik Cina: “Yi ri wei shi, zhong sheng wei fu” (sehari menjadi guru, seumur hidup menjadi orang tua). Jujur saja, saya shock ketika berusaha memahami makna idiom ini. Benar-benar menohok ulu hati saya yang selama ini telanjur mengagung-agungkan guru sebagai sebuah profesi. Padahal, sejatinya guru bukanlah sebuah profesi, melainkan status.

Lho! Bukankah pemerintah baru saja meluncurkan UU Guru dan Dosen yang jelas-jelas menashihkan (red: mengesahkan) guru sebagai profesi yang selama ini dinilai telah terpinggirkan? Bukankah dengan menaikkan derajat guru menjadi sebuah profesi akan menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik sehingga para guru tidak lagi naik sepeda kumbang di atas jalan berlubang seperti yang sering disindir oleh Iwan Fals? Bukankah tuntutan itu yang selama ini menggema di balik demo para guru sehingga terpaksa harus mangkir mengajar dan mendidik demi memperbaiki kesejahteraan hidup?

Tunggu dulu! Kesejahteraan guru harus lebih baik, itu jelas. Guru tidak lagi naik sepeda kumbang ketika menunaikan tugas, itu wajar. Guru tidak lagi pusing memikirkan isi periuk di dapur, itu sudah pasti. Guru tidak lagi repot harus hutang ke sana kemari ketika tiba-tiba anaknya masuk rumah sakit, itu juga sangat beralasan. Guru tidak lagi nyambi jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan, itu sudah jelas masuk akal.

Namun, ada pesan moral yang lebih agung dan mulia di balik adagium Cina klasik itu. Guru bukan semata-mata sebuah profesi, melainkan status; sebagai Shi Fu; guru yang sekaligus berstatus sebagai orang tua. Alangkah luhur dan mulianya status yang disandang oleh para guru. Mereka tak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan an-sich, melainkan juga membangun karakter. Mereka tak hanya pintar memberikan punishment, tetapi juga bijak memberikan reward. Ada sentuhan tangan sang guru yang lembut, penuh perhatian, dan sarat nilai kasih sayang kepada para murid ketika sedang bergulat di tengah rimba belantara dunia pendidikan. Ada simpul-simpul syaraf kemanusiaan yang dengan amat sadar dialirkan ke ruang-ruang kelas, sehingga atmosfer yang terbangun menjadi lebih beradab dan berbudaya.

Itulah sebabnya, saya menjadi sangat shock ketika mencoba menghitung “dosa-dosa” saya selama menjadi guru. Betapa selama ini saya merasa cukup bangga disebut sebagai guru profesional. Betapa wibawanya saya di depan siswa didik saya yang dengan otoritas yang saya miliki, saya bisa menjadi “aktor” tunggal yang diperhatikan dengan puluhan sorot mata penuh ketakutan. Betapa bangganya saya bisa menakut-nakuti murid dengan ancaman tidak naik kelas atau gagal lulus, bahkan mengeluarkan mereka dari sekolah apabila mereka mau main-main dengan peraturan dan tata tertib sekolah.

Cobalah kita tengok sebentar suasana ruang-ruang kelas yang berlangsung selama ini. Para murid bagaikan objek mati yang gampang dikebiri melalui otoritas sang guru. Para murid hanya jadi robot. Sang gurulah pengendalinya. Para murid sekadar mengikuti sinyal “remote control” yang disetir sang guru. Robot-robot yang sedang “error” tak segan-segan dibuang dan disingkirkan. Ancaman menjadi senjata ampuh bagi sang guru dalam menegakkan wibawa dan kharismanya. Tak heran jika selepas dari ruang kelas yang angker bak kerangkeng penjara, para murid seperti terbebas dari sekapan medan karantina berbau busuk. Lantas, mereka mencari pelampiasan dengan melakukan aksi yang sesuai dengan naluri agresivitasnya. Tawuran, pesta pil setan, pergaulan bebas, dan perilaku tak terpuji lainnya gampang sekali membius mereka.

Betapa naifnya saya setelah pantulan dari cermin kehidupan itu menampar wajah saya yang penuh bopeng dan dosa. Saya telah berlaku biadab dan kejam terhadap anak-anak bangsa negeri ini. Mereka saya perlakukan semau gue, sesuka gaya saya. Kapan pun mau, saya bisa meminta mereka untuk menjilati tembok dinding ruang kelas yang kasar dengan lidah mereka apabila mereka nyata-nyata melanggar aturan. Saya bisa menghakimi siswa didik saya untuk menguras WC yang berbulan-bulan lamanya lupa dikuras oleh petugas sekolah. Bahkan, saya sering mempermalukan murid-murid saya dengan cara menggantung kaki sebelah ketika mereka terlambat masuk kelas. Saya jarang tersenyum karena takut kehilangan wibawa. Saya harus lebih banyak menciptakan ketegangan di ruang kelas, agar mereka memusatkan perhatian pada materi ajar yang saya sajikan. Kalau ada murid yang berotak pas-pasan, tak segan-segan saya memvonis mereka dengan label “bodoh atau tolol”. Celakanya, saya beranggapan, mereka hanyalah anak orang lain yang dititipkan ke sekolah, sekadar untuk cari selembar ijazah.

Selama ini ternyata saya bukanlah seorang guru. Saya hanya menjadi tukang ajar. Saya sering mengatakan, “Saya punya ilmu, kamu punya uang!” Jadilah transaksi. Sekolah jadi ladang bisnis. Tak ada nilai karakter dan budi pekerti yang saya tanamkan kepada murid-murid saya. Tugas saya semata-mata hanya mengantarkan anak-anak negeri ini bisa memperoleh ijazah. Titik. Tak ada pertautan nilai kemanusiaan yang tersalur ke dalam gendang nurani siswa didik saya. Kalau ada siswa yang berotak pas-pasan, sering saya tinggalkan begitu saja. Saya tak peduli, toh anak orang lain, salahnya sendiri bodoh! Selama ini ternyata darah yang mengalir dalam tubuh saya bukanlah darah seorang guru, melainkan darah seorang pekerja dan pencari penghasilan.

Bertahun-tahun lamanya, saya terpasung dalam suasana semacam itu. Idiom klasik Cina itu telah mengingatkan saya agar menjadi seorang shi fu; menjadi guru sekaligus orang tua. Guru tak hanya sebatas memainkan peran sebagai tukang ajar, tetapi juga sekaligus sebagai orang tua yang mengemban misi mendidik. Kalau ada anak yang berotak pas-pasan, sudah seharusnya diajak untuk mengembangkan potensi kecerdasannya; dbimbing dan dilatih dengan penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang; tak ubahnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Kalau ada murid yang melanggar aturan, mereka perlu diajak dan dilibatkan untuk membuat “kontrak sosial” agar mereka patuh terhadap aturan main yang telah disepakati.

Guru juga tak hanya mengemban misi mencerdaskan otak siswa, melainkan juga membangun pilar-pilar karakter yang kuat agar kelak anak-anak negeri ini juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Sungguh, betapa dalam dan luasnya makna shi fu itu ketika saya silau oleh predikat sebagai guru profesional. Semoga, negeri ini akan bermunculan shi fu-shi fu baru yang benar-benar memiliki darah “guru sejati” yang memperlakukan siswa didiknya tak ubahnya seperti anak-anak kandungnya. Hanya dengan sentuhan tangan yang lembut, bijak, penuh perhatian, dan sarat belaian kasih sayang, anak-anak negeri ini akan menemukan dunianya yang beradab dan berbudaya.[st]

* Sawali Tuhusetya adalah seorang guru dan penulis buku Kumpulan Cerpen Perempuan Bergaun Putih, kini juga mengelola blog. (Abu Nayya ambil dari Pak.Sawali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

salam persahabatan