MEMBINCANG TRADISI AGAMA DIKALANGAN NU
Oleh : M Liwa Uddin
Pendahuluan.
Dalam keseharian umat islam selalu dituntut untuk menjalankan syariat agama yang baik yang bersumber dari Alqur’an maupun sabda dan prilaku Nabi Muhammad SAW. Namun tidak mudah orang bisa menafsirkan dan menterjemahkan keduanya sebagai pedoman hidup terutama di era globalisasi seperti sekarang ini. Kehidupan memang syarat dengan masalah yang harus kita sikapi dengan arif sehingga tidak tercipta radikalisme dan dogmatisme agama bahkan penafsiran tanpa batas yang tidak dibarengi dengan disiplin ilmu yang memadai.
Adat istiadat yang membudaya disekitar kita sangatlah beraneka ragam dan warna warni. Banyak negara yang punya keanekaragaman tradisi yang tidak terhitung jumlahnya, seperti negara kita sendiri, Iraq, Mesir dan lain lain. Diantara tradisi yang berkembang di negara kita dan dilakukan oleh warga NU adalah pelaksanaan Isro’ Mi’roj, Maulid Nabi, Tahlilan, Sedekah Bumi dan lain sebagainya. Semua itu harus kita pandang sebagai sebuah bentuk rekayasa manusia untuk tujuan tertentu. Tahlil misalnya, ini sengaja ditradisikan oleh para ulama’ terdahulu sebagai ajang dzikir dan doa untuk mayyit. Cuma tradisi ini terhitung baru (merupakan “bid’ah”) karena pada masa Nabi dan sahabat tidak pernah ada. Namun karena pelaksanaannya untuk mencari pahala dan niyat yang baik, maka hukumnya tidak dilarang bahkan berpahala.
Klasifikasi Bid’aah.
Orang islam sudah punya pedoman yang harus dipegang erat ( Ushul Al Syari’ah ), maka segala sesuatu yang tidak sesuai atau bertentangan dengan pedoman tersebut dinamakan “ Bid’ah Mardudah” ( pola baru yang ditolak oleh agama ) . Sebagaimana yang disabdakan Nabi :
كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار
Artinya : “ Setiap bid’ah ( Syar’iyyah ) adalah menyesatkan dan setiap yang menyesatkan bertempat di neraka.
Dari pemahaman di atas bid’ah dibagi menjadi dua :
1. Bid’ ah Syar’iyyah, yaitu prilaku baru yang sifatnya menambahi atau mengurangi syariat yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti mengurangi sholat wajib menjadi empat waktu dalam sehari semalam.
2. Bid’ah Lughowiyyah yaitu model baru yang tidak merubah aturan agama yang sudah ditetapkan oleh Nabi. Bid’ah ini dibedakan menjadi lima hukum :
a. Bid’ah Wajibah seperti belajar ilmu Nahwu dan Shorof untuk mengetahui Alqur’an dan Hadits.
b. Bidd’ah Muharromah, seperti mengkonsumsi narkoba.
c. Bid’ah Mandubah, seperi mendirikan madrasah dan pesantren.
d. Bid’ah Makruhah seperti menghiasi masjid, merokok.
e. Bid’ah Mubaahah, seperti memakai celana, prasmanan .
Dari klasifikasi di atas maka dapat kita simpulkan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah ada pada masa Nabi dan sahabat adalah bid’ah tapi bukan berarti semuanya dilarang. Hukumnya bisa dilihat dari pola yang dilakukan, apakah sampai merubah ajaran agama ataukah hanya sekedar terobosan baru untuk tujuan-tujuan yang baik dan diperbolehkan.
Warna-warni budaya masyarakat nahdliyin
Tradisi masyarakat yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu yang begitu beraneka ragam tidak serta merta kita hukumi haram dengan alasan tindakan itu tidak ada pada masa Nabi dan para sahabat. Sikap arif tetap di butuhkan terutama amaliyah-amaliyah yang sudah biasa dilaksanakan warga masyarakat terutama warga nahdliyin. Secara terperinci tradisi-tradisi itu dapat dijabarkan sebagai berikut :
• Tradisi tahlil.
Budaya ini berkembang sudah sejak lama, bahkan tidak diketahui secara jelas siapa orang yang pertama kali membuatnya. Dan bisa dikatakan bid’ah karena tidak pernah ada pada masa nabi dan para sahabat. Itu terlihat jelas ketika ritual tahlilan dilaksanakan dengan bentuk yang berbeda-beda disetiap daerah. Walaupun bid’ah, tahlilan tidak bisa dikatakan madzmumah (model baru yang jelek) bahkan sebaliknya, termasuk bid’ah khasanah (model baru yang baik) karena tahlilan hanyalah ritual yang sifatnya berkumpul bersama disertai dengan dzikir-dzikir, doa dan lantunan ayat-ayat Alqur’an .Disisi lain, tahlilan merupakan media pemersatu dan ajang untuk saling bersilaturrohmi serta berlomba-lomba untuk mencari pahala. Adapun pelaksanaan tahlil pada hari-hari tertentu seperti hari ketiga, ketujuh, keseratus da sebagainya itu bukanlah hal yang prinsip, tapi hanya sekedar teknis pelaksanaan dari budaya setempat, seperti yang dikatakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan, begitu juga pemberian shodaqoh atau makanan pada hari-hari tertentu juga sebuah tradisi dari sekelompok masyarakat, kata Imam Yusuf al-Sumbulawini .
• Maulid Nabi dan sejenisnya.
Peringatan maulid Nabi yang selalu dilaksanakan pada bulan Robi’ul Awwal dengan berbagai macam cara sebenarnya juga sama dengan tahlilan, dalam hal keduanya sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat. Imam Abu syamah dalam kitabnya yang berjudul al-Baits fi inkari al-bida’ wa al-khawadits mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Syaih Umar bin Muhammad al-Mulla di Mosul Iraq dan kemudian diikuti yang lain . Sementara dalam sebuah riwayat, pelaksanaan maulid Nabi pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said Mudhoffar al-Dien seorang gubernur di Irbil Iraq Utara pada masa pemerintahan sultan Sholahuddin al-Ayyubi (1138-1193). Pendapat ini disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Husn al-Maqashid fi amal al-Maulid. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ide penyelenggaraan maulid datang dari sultan Sholahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu yang sedang terlibat perang salib. Dimasa Abasiyyah , tepatnya dipenghujung abad XII Masehi, perayaan maulid Nabi dilakukan secara resmi, dibiayai dan difasilitasi oleh kholifah dengan mengundang penguasa-penguasa lokal. Samapai sekarang perayaan mauilid Nabi diadakan dibanyak Negara seperti Indonesia, Mesir, Maroko, Tunisia, Libanon, Brunai dan lain-lain. Mereka semua punya tujuan yang sama, yaitu untuk mengenang kembali perjuangan sang Nabi, mempererat persatuan dan kesatuan umat serta mewujudkan cinta pada beliau. Maka pelaksanaan maulid Nabi seperti ini juga termasuk bid’ah khasanah (dapat mendapatkan pahala jika dilaksanakan). Namun demikian kita tidak boleh meyakini bahwa cinta pada rosul hanya diwujudkan pada bulan Maulud saja, tapi harus setiap waktu dan setiap saat. Begitu juga perayaan hari besar lainnya seperti Isro’ Mi’roj, Halal bi Halal, Nisfu sya’ban dan lain-lain, hokum pelaksanaannya juga sama.
Dari uraian diatas, maka sesuatu yang baru tidak mesti dosa, bahkan sebaliknya bisa menimbulkan banyak pahala jika dilaksanakan dengan benar dan sesuai dengan syara’. Sesuatu yang baru akan terus bermunculan silih berganti, baik positif maupun negatif yang semuanya tidak pernah ada pada masa Nabi dan para sahabat seperti pendirian rumah sakit, madrasah, pondok pesantren dengan segala modelnya, bermain sepak bola dan sebagainya. Tidak mungkin kita hukumi haram semuanya hanya dengan alasan bahwa tradisi-tradisi itu tidak pernah ada pada masa Nabi. Orang yang dengan mudah menuduh orang lain yang melakukan hal baru adalah ahli bid’ah madzmumah, merupakan orang-orang yang tidak mau mengembangkan pikirannya dan hanya mengandalkan pendekatan normatif tekstual. Orang-orang seperti inilah yang justru menghambat kemajuan islam dan dapat memunculkan radikalisme dalam agama.
Kesimpulan.
Tradisi tahlilan, perayaan maulid Nabi dan sejenisnya adalah murni sebuah adat (adiyun mahdlun) yang dilakukan sebagian masyarakat yang ttidak ada hubungannya dengan agama sama sekali . Hukum pelaksanannya tergantung apa yang ada didalamnya. Jika didalamnya terdaapat dzikir, doa dan atau ayat-ayat Alqur’an maka termasuk bid’ah khasanah seperti tradisi tahlilan dan maulid Nabi. Tapi jika isinya hal-hal yang dilarang agama seperti minum-minuman keras, maka termasuk bid’ah madzmumah (dosa bagi pelakunya).
Dalam melakukan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat maka kita :
1. Tidak boleh meyakini bahwa tradisi yang kita lakukan (maulid Nabi, tahlilan dan lain-lain) merupakan bagian dari ajaran yang baku dalam islam, karena itu tidak boleh meyakini bahwa melakukan sedekah, membaca Alqur’an, membaca sholawat akan mendapatkan pahala sepesial hanya kerena hal itu dilakukan pada hari atau acara tertentu.
2. Tidak membuat harga mati bahwa tradisi dan perayaan itu harus dilakukan dihari atau bulan tertentu. Maka melakukan tahlil dan membaca Sholawat nabi dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun.
3. Semua kegiatan yang dilakukan dalam acara tersebut harus jauh dari mitos, syirik, penghambur-hamburan harta dan tidak disertai dengan kemaksiyatan-kemaksiyatan.
4. Pelaksanaan pada waktu dan tempat tertentu hanya sekedar teknis saja dan tiidak menutup kemungkinan dilaksanakan di waktu dan tempat yang berbeda.
Dari uraian diatas, maka tradisi dan peringatan yang berdampak positif bagi masyarakat baik dari sisi persatuan umat, shodaqoh, silaturrohmi dan lainnya, harus terus dijaga, dikembangkan serta diperjuangkan sehingga kejayaan islam tetap terjaga dan tetap bersemboyan fastabiqul khoirot (berlomba-lombalah dalam kebaikan). Allahu a’lam bi al-showab.
Yang bertahlil maupun yang hanya berbela sungkawa pada saat mayit sudah dimakamkan atau belum, adalah sebuah bentuk penghormatan untuk memuliakan tamu dan sedekah serta sebagai ucapan rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
salam persahabatan