Akhir-akhir ini ada “tren” baru di kalangan ummat Islam: mencantumkan nukilan terjemahan ayat 21 Surat Ar-Ruum di undangan perkawinan.
Terjemahan yang dipakai adalah terjemahan Depag, yang berbunyi, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu “istri-istri” (tanda petik dari saya) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Pilihan arti “istri-istri” untuk lafal azwaajan ayat tersebut bisa menimbulkan pertanyaan, terutama bagi mereka yang suka “mencari-cari”. Misalnya, apakah ayat ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki? Salah-salah ini bisa menambah “kecemburuan” kaum “feminism”, karena disini bisa mengandung “dominasi” laki-laki. Berbeda jika azwaajan diartikan ‘jodoh-jodoh’ atau ‘pasangan’ sebagaimana terjemahan banyak tafsir.
Kecuali yang khusus-khusus sebagaimana yang ditujukan, misalnya, kepada Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan orang-orang kafir, umumnya khitab Al-Qur’an memang ditujukan kepada kita semua (an-nas) atau kaum Mukminin. Lalu, apakah tentang hak dan kewajiban umumnya Al-Qur’an (Allah) tidak membedakan antara manusia laki-laki dan perempuan, juga antara Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan? (Lihat, misalnya: Q.s. 2: 285; 4: 32; 33: 35-6)
Khusus dalam hal kesalehan – yang menjadi prasyarat kebahagiaan abadi orang Mukmin – Al-Qur’an bahkan menegaskan tiadanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu (lihat, misalnya: Q.s. 3: 195; 4: 124; 16: 97; 40:40).
Laki-laki berbeda dengan perempuan karena memang dari sono-nya berbeda. Artinya, Allah memang menciptakan mereka berbeda. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah perbedaan fitri (Q.s. 49: 13; 92: 3; 42: 49 – 50). Dari sinilah kiranya sumber perbedaan-perbedaan yang ada antara keduanya. Lalu, apakah perlu dipertentangkan atau dipermasalahkan?
Allah-lah yang menciptakan manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Dia pulalah yang – tentu saja lebih tahu – mengatur penghambaan mereka sesuai kodrat masing-masing. Orang saleh adalah hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yang dalam kehidupannya mengikuti aturan Tuhannya sesuai dengan kodratnya.
Terhadap seorang laki-laki-perempuan ini, kita melihat, ada dua sikap yang sama-sama ekstrim: pihak yang dengan ekstrem menafikan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terkesan pengingkaran terhadap fitrah, dan pihak yang dengan ekstrem membedakan antara keduanya hampir di segala hal.
Penafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan – seiring kemajuan maaddiyah yang memang luar biasa – dapat (dan ternyata telah) mengakibatkan masalah-masalah kemasyarakatan yang dasyat. Hubungan pria dan wanita dan orang tua – anak mengalami krisis berlarut-larut. Lembaga keluarga berantakan. Tata moral jungkir balik. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kita, misalnya, bisa melihat wanita-wanita masa kini melarikan diri dari kedudukannya yang mulia, yakni sebagai ibu, pusat kasih sayang dari mana dunia mendapatkan ketentraman. Bahkan dari kodratnya. Mereka berdalih – atau terbius – oleh slogan “kemajuan” (yang sering justru ciptaan kaum laki-laki), seperti emansipasi wanita dan feminisme (yang sering dikaburkan artinya) sebagai pembebasan atau persamaan hak tanpa melihat perbedaan fitrah.
Julukan terhormat ”ibu rumah tangga” justru membuat mereka tersipu-sipu. Malu. Al-Qur’an Surat 33 ayat 33, yang umumnya secara sempit diartikan sebagai larangan keluar rumah bagi perempuan, dianggap tidak “menzaman” dan perlu diberi takwil atau penjelasan tambahan pengecualian. Mereka lupa, dari rumah tanggalah dan sebagai ibu rumah tanggalah mereka mendidik dan membentuk – dengan kasih-sayang – generasi bangsa.
Sementara itu, “pembedaan yang ekstrem” antara pria dan wanita (biasanya juga muncul dari pihak pria) juga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang umumnya diawali dengan kerugian di pihak wanita.
Dengan dalih perbedaan fitri, atau semata-mata karena merasa lebih dominant, sering kaum laki-laki seenaknya sendiri membatasi – atau minimal tak menghormati – hak-hak kaum wanita.
Maka, dengan alasan yang berbeda, tak jarang pula ada wanita lari dari maqam-nya yang terhormat: yakni sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan kaum pria.
Wanita Muslim, seperti juga pria Muslim, mempunyai miqyas, ukuran kepatutannya sendiri sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila muslimat – juga muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila Muslimat – juga Muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman dan miqyas-nya sendiri, atau ia terlalu rapuh atau silau menghadapi kemilau pedoman dan miqyas “orang lain”.
Untuk menghadapi itu semua, tentu saja ia harus kembali kepada pedomannya sendiri. Kembali mengkaji sampai mendapatkan cukup kekuatan untuk tidak saja menggunakannya, tapi juga untuk menepis tawaran menggiurkan pedoman-pedoman lain yang justru berakibat malapetaka di kemudian hari.
Akhirnya, kiranya perlu kita simak lagi firman Allah dalam kitab suci-Nya, “Wahai segenap manusia, sungguh Aku telah menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu semua saling mengenal; sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu semua di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Awas.” (Q.s. 49: 13).
Oleh Abu Nayya dari Gus Mus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
salam persahabatan