Selasa, 08 Februari 2011

Sejarah Ampyang Maulid Loram Kulon


Oleh Abu Nayya dari Facebooke wong Loram

. S E J A R A H

Masjid AT-TAQWA yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan "Masjid Wali" berada di daerah Loram Kulon, kecamatan Jati, kabupaten Kudus. Luas tanah 959 m2 dan luas taman 40 m2 .Didirikan pada tahun 1596-1597 abad ke 15 pada masa Hindu Budha menuju ke islam, oleh Tjie Wie Gwan, salah seorang pengembara dari kerajaan Campa, Cina. Awal mula beliau sampai di Indonesia, tepatnya di daerah Jepara dikarenakan tahta yang seharusnya diserahkan kepadanya, direbut oleh kakaknya, sehingga beliau berniat pergi merantau dan akhirnya sampai di Jepara, yang pada saat itu daerah Jepara dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, masih dibawah naungan kerajaan Bintoro Demak.
. Pada waktu itu, Ratu Kalinyamat yang masih gadis, ingin memiliki pendamping hidup, maka diadakanlah sayembara. Barang siapa yang dapat memenangkan sayembara tersebut, maka akan menjadi pendamping Ratu Kalinyamat. Sayembara itu diikuti oleh para pendekar dan salah satunya yaitu Tjie Wie Gwan. Akhirnya, sayembara itu dimenangkan oleh Tjie Wie Gwan. Lalu diangkatlah ia sebagai suami dari Ratu Kalinyamat. Setelah beberapa tahun menjalani kehidupan rumah tangga, mereka berdua belum juga dikaruniai seorang putra, sehingga beliau menikah lagi dengan salah satu putri Sunan Kudus yang bernama R. Prodobinabar.
. Dengan dinikahinya R. Prodobinabar oleh Tjie Wie Gwan, maka hubungan beliau dengan Sunan Kudus terjalin semakin erat. Sunan kudus mengetahui kemampuan menantunya yaitu dapat mengukir dan memahat. Dengan kemampuannya tersebut dimungkinkan untuk media dakwah penyebaran Agama Islam. Maka diperintahkanlah ia untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Kudus bagian selatan dengan memanfaatkan keahliannya tersebut.
. Ketika beliau menyebarkan Agama Islam, pertama kali yang dibangun adalah Masjid dan Gapura yang arsiteknya menyerupai kuil kuil dari Bali dengan menggunakan bata merah. Arsitektur yang menyerupai kuil itu dimaksudkan sebagai taktik/cara oleh Tjie Wie Gwan agar masyarakat sekitar tertarik untuk mendatangi Masjid tersebut karena pada masa itu masyarakat masih beragama Hindu-Budha, belum mengenal agama Islam. Setelah berhasil menarik perhatian warga setempat, kesempatan beliau untuk menyebarkan agama Islam semakin besar. Salah satu caranya dengan sedikit demi sedikit memasukkan ajaran agama Islam kepada warga yang datang ke Masjid tetapi tanpa mengandung unsur paksaan. Dengan begitu,masyarakat semakin tahu tentang ajaran ajaran Islam.
. Karena Masjid tersebut terbuat dari kayu, sehingga lapuk dan rapuh dimakan usia. Pada tahun 90an Masjid di rehab secara total, adapun Serambi Masjid yang dibangun tahun 1971.

. Gapura telah direhab tahun 1996 ditangani langsung oleh BP3 Jateng, dan Gapura ini telah dimasukkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) karena usianya yang sudah lebih dari 100 tahun.

. Selain menyebarkan agama Islam, beliau juga meninggalkan beberapa tradisi budaya yang masih dilaksanakan sampai sekarang :

1. Tradisi Nganten Mubeng Gepuro/kirab nganten
Pada masa itu, belum terdapat KUA, sehingga untuk calon pengantin proses ijab qobul dilaksanakan di Masjid Wali tersebut yang menjadi penghulu adalah Tjie Wie Gwan. Karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka beliau berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Kegiatan tersebut bertujuan baik, tanpa bermaksud untuk mengarah ke perbuatan syirik.

2. Tradisi Sedekah Nasi Kepel
Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat “Pitulung(pertolongan), Pitutur(nasihat), Pituduh(petunjuk)” dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.

3. Tradisi Ampyang Maulid
Ampyang Maulid adalah perayaan yang dilaksanakan masyarakat Loram Kulon yang digunakan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad saw di Masjid Loram Kulon yang bernuansa islami. Ampyang maulid menjadi salah satu budaya yang dilestarikan sampai sekarang dan diperingati setiap tanggal 12 Robi’ul Awwal untuk memperoleh berkah.

Tradisi ampyang di desa loram kulon memiliki ciri khas dan keunikan yang telah ada sejak zaman Tjie Wie Gwan. Namun pada zaman penjajahan Belanda, dilanjutkan zaman penjajahan Jepang tahun 1941-1945 tidak dapat dilaksanakan karena kondisi dan situasi politik yang berakibat krisis panjang mpada masa itu.
Menjelang timbulnya gerakan partai komunis Indonesia (PKI) sampai masa akhir G 30 S PKI, tradisi ampyang ini sempat terhenti juga karena situasi politik.

Dalam perkembangannya tahun 1995 M tradisi ampyang ini kembali dilaksanakan sebagai syiar agama islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

salam persahabatan