Rabu, 02 Februari 2011
Sejarah Sholawat Wahidiyyah di Indonesia
Oleh Abu Nayya Kudus, dari halaman maya yang sama.
Pendiri] [Mu'allif] [Pengasuh] [Silsilah] [Sholawat]
Sekilas Biografi Mbah KH. MOHAMMAD Ma’roef RA. (Pendiri Pondok Pesantren Kedunglo)
Ketinggian ilmunya diakui secara international, terbukti pada pendirian NU (Nahdatul Ulama) yang pertama, beliau terpilih menjadi Mustasyar NU bersama ulama bertaraf international lainnya. Di zamannya, keampuhan doanya tak tertandingi. Beliau adalah “Profesor Do’a” yang memiliki ribuan do’a untuk segala macam kebutuhan. Serta memadukan antara bahasa Arab dan Jawa untuk do’anya. Dari bumi pilihannya Kedunglo, beliau telah berhasil melahirkan ulama-ulama keramat yang menyebar di pulau Jawa. Beliau juga memberi semangat para santri dan tentara dengan do’anya sehingga mereka selamat di medan pertempuran. Dan dari bumi Kedunglo pula, terlahir Shalawat ampuh, shalawat yang dibutuhkan seluruh ummat “Shalawat Wahidiyah”, buah taklifan putra beliau.
I. KH. MOHAMMAD Ma’roef RA ; Masa Kecil
Mbah KH. Mohammad Ma’roef RA. dilahirkan di dusun Klampok Arum Desa Badal Ngadiluwih Kabupaten Kediri pada tahun 1852. Beliau, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Mbah Yahi Abdul Madjid adalah pendiri pondok Klampok Arum selatan Masjid Badal dan seorang yang sangat dihormati dan ditokohkan di daerahnya. Konon ayahnya mempunyai kebiasaan tirakat dengan hanya makan kunir saja. Mbah Yahi Madjid menurut penuturan Mbah Yahi Ma’roef kepada murid-muridnya mempunyai kesabaran yang luar biasa. Ibunya yang ingin tahu bagaimana murahnya si suami sampai-sampai membuatkan sayur tom(sayur yang rasanya sangat pahit dan apabila sayur tersebut digosokkan ke kambing yang cacingan, seketika cacingnya mati) kemudian dihaturkan kepada suaminya. Tapi dengan lahap seolah merasa tidak kepahitan Mbah Yahi Madjid malah tersenyum manis sembari berkata “Segar sekali sayur buatanmu ini besok buatkan sayur seperti ini lagi, ya?” Pintanya kepada istrinya.
Mbah Ma’roef RA. Merupakan putra kesembilan dari sepuluh bersaudara. Tiga perempuan dan tujuh laki-laki. Saudara-saudaranya itu adalah:
Nyahi Bul Kijah, KH. Muhajir, Kyai Ikrom, Kyai Rohmat, Kyai Abdul Alim, Kyai Jamal, Nyahi Muntaqin, Kyai Abdullah, KH. Moh. Ma’roef dan Nyahi Suratun.
Mbah Ma’roef tidak lama merasakan kasih sayang ibunya, sebab ibunya sudah wafat ketika beliau masih kecil, sebagai gantinya, beliau mendapat kasih sayang dari ayah dan saudara-saudaranya. Akan tetapi tidak lama berselang, ayahnya juga menyusul ibunya sowan kehadirat Allah. Setelah itu Mbah Ma’roef diasuh oleh Mbah Yahi Bul Kijah, mbak ayunya yang sulung.
Karena kondisi ekonomi mbak ayunya yang juga pas-pasan, tak heran kalau di usia wajib belajar beliau belum bersekolah. Mbah Ma’roef hanya belajar mengaji Al Qur’an yang diajari sendiri oleh mbak ayunya. Itupun mbak ayunya sering mengeluh karena Mbah Ma’roef kecil belum bisa apa yang telah diajarkan seakan tidak ada yang nyantol di otak Mbah Ma’roef. Saking jengkelnya, akhirnya mbak ayunya menyuruh adiknya agar sering puasa Senin-Kamis. Saran tersebut dilaksanakan oleh Mbah Ma’roef.
Tidak lama setelah menjalankan puasa Senin-Kamis beliau bermimpi seekor ikan Mas meloncat masuk kedalam mulutnya. Sejak saat itu beliau langsung bisa membaca Al Qur’an sampai khatam. Beliau kemudian menemui mbak ayunya. “Mbak, aku sudah khatam al Qur’an.” Dilapori demikian Mbah Nyahi Bul Kijah kaget dan tidak percaya. “Kemarin saya ajari sulitnya minta ampun kok sekarang sudah khatam Qur’an.” Mbah Ma’roef kemudian berkata; “Kalau ndak percaya, akan saya baca sampeyan yang nyimak.” Mbah Ma’roef lantas membaca Al-Qur’an hingga khatam.
II. BELAJAR DENGAN TIRAKAT
Suatu ketika beliau dimarahi dan dipukul uleg-uleg (alat untuk menghaluskan bumbu) oleh mbak ayunya lalu beliau memutuskan menyusul kakak-kakaknya yang terlebih dahulu mondok di Cepoko Nganjuk dengan berjalan kaki.
Selama mondok di Cepoko keadaan beliau sangat memprihatinkan. Konon, beliau hanya makan seminggu sekali itupun makanan pemberian orang-orang sekitar pondok yang setiap malam Jum’at mengirim makanan ke pondok. Pada hari-hari biasa, apabila beliau merasa lapar beliau hanya makan intip(nasi hangus) yang masih melekat di panci dan tidak dimakan oleh pemiliknya. Atau makan buah Pace yang pohonnya beliau tanam sendiri di lingkungan pondok. Pernah juga beliau mengajak kakaknya mengemis ke desa-desa untuk biaya mondok dan hidup selama di pondok. Beliau juga pernah menjadi buruh panjat kelapa dengan upah sebutir kelapa yang bagus. Bahkan oleh pemilik pohon kelapa beliau diberi tanah dan oleh Mbah Ma’roef tanah tersebut ditanami pohon kelapa.
Untuk menghilangkan rasa lapar karena jarang makan, beliau sampai menyumpahi perut dan mulutnya setiap hari Jum’at di dekat blumbang(kolam) buatan beliau sendiri. “Hai perut, jangan minta makanan jika belum hari Jum’at tiba. Mulut, jangan minta minum jika belum hari jum’at tiba, beliaupun makan dan minum sepuasnya. Setelah makan beliau juga menyumpahi duburnya, “Dubur, jangan kenthut-kenthut jika belum hari Jum’at tiba.”
Kondisi yang cukup memprihatinkan selama nyantri membuat Mbah Ma’roef mempunyai kebiasaan puasa dan munajat kepada Allah SWT. Karena itulah Allah menganugrahkan beliau ilmu laduni di bidang ilmu Fiqih yang bermula dari mimpi beliau mengajar kitab Kuning di pondok. Setelah kejadian mimpi tersebut, beliau yang sudah mondok selama tujuh tahun dan baru kelas satu tsanawiyah tiba-tiba bisa membaca kitab kuning yang biasa diajarkan Kyai nya. Beliaupun lantas sowan pada Kyai Muh gurunya, melaporkan bahwa beliau mendapat ilmu laduni dan bisa membaca kitab.
Kyai Muh kemudian mengumumkan kepada seluruh santrinya kalau besok beliau tidak mengajar, yang mengajar adalah Mbah Ma’roef dari Kediri. Mendengar pengumuman tersebut seluruh santri mengejek Mbah Ma’roef. Terutama santri senior yang memang tidak senang dan merasa iri dengan keberadaan Mbah Ma’roef di Cepoko. Sehingga muncul komentar-komentar bernada miring. “Mondok saja belum tamat, ndak bisa ngaji kok mau ngajari ngaji.”
Keesokan harinya Mbah Ma’roef memukul kentongan pertanda pelajaran akan dimulai. Tapi karena para santri tahu kalau hari itu yang menggantikan gurunya adalah Mbah Ma’roef, maka hanya beberapa orang saja yang berkumpul di masjid. Mbah ma’roef tidak peduli dengan ketidak hadiran para santri senior yang alim-alim, beliau tetap membuktikan kemampuannya mengajar kitab yang biasa diajarkan oleh Kyai Muh kepada santri-santrinya.
Ternyata benar, Mbah Ma’roef bisa mengajar bahkan hafal isi kitab milik gurunya tersebut. Tentu saja peristiwa ini menggemparkan seisi pondok. Mbah Ma’roef santri miskin yang semula diremehkan dan dibenci teman-temannya seketika di sanjung dan dihormati. Bahkan katanya, Kyai Muh gurunya akhirnya berbalik berguru pada beliau. Sementara itu, para santri senior yang suka mengejek Mbah Ma’roef saat itu juga meninggalkan Pondok Cepoko.
Namun beliau tidak lama di Cepoko, kemudian beliau melanjutkan mencari ilmu di Semarang pada Kyai Sholeh, Ndarat. Genap dua tahun mondok di Ndarat, beliau pindah nyantri pada Kyai Sholeh Langitan Tuban.
Dalam perjalanannya menuju pesantren yang beliau tempuh dengan jalan kaki tak jarang di tengah jalan beliau dihadang para perampok. Namun karena beliau punya ilmu penglimunan para begal itu tidak bisa melihat Mbah Ma’roef yang berlalu dihadapannya.
Genap setahun di Langitan, beliau pulang ke rumahnya. Namun tidak lama beliau yang waktu itu sudah memasuki usia 30 tahun langsung diambil menantu oleh Kyai Shaleh Banjar Mlati di peruntukkan putri sulungnya yaitu nyahi Hasanah.
Sekitar dua tahun saja Mbah Ma’roef menemani istrinya, karena setelah putra pertama lahir, beliau pergi ke Bangkalan untuk menimba ilmu pada Kyai Khalil yang masyhur sebagai auliya keramat yang dibiayai oleh Kyai Shaleh mertuanya yang terkenal kaya raya.
III. BERGURU PADA KYAI KHALIL BANGKALAN
Setelah menyeberangi selat Madura dengan berenang, ada yang mengatakan beliau tidak berenang melainkan langsung berjalan di atas selat Madura hingga tiba di daratan Madura. Beliau langsung menuju Demangan pondok Kyai Khalil, dan beliau sendiri yang menerima Mbah Ma’roef.
“Hai, anak Jawa, tampaknya kamu lapar, ini saya beri makan harus dihabiskan.” Perintah Kyai Khalil sembari menyerahkan nasi satu nampan besar dengan lauk ikan bandeng sebesar betis orang dewasa.
“Ya, Kyai,” jawab Mbah Ma’roef. Beliau pun mulai makan yang porsinya untuk beberapa orang dengan niat menyerap ilmunya Kyai Khalil. Selama Mbah Ma’roef makan, Kyai Khalil terus mengawasi calon muridnya dengan berdiri disamping Mbah Ma’roef dengan tongkat di tangannya yang siap beliau ayunkan apabila Mbah Ma’roef tidak menghabiskan makanan yang telah beliau berikan.
Mbah Ma’roef yang telah terbiasa puasa dan berlapar-lapar tentu saja merasa tidak mampu menghabiskan nasi sebanyak itu. Namun karena beliau mempunyai do’a yang membuat perut tidak merasa kenyang walau sudah kemasukan makanan berapapun banyaknya, yang beliau baca sebelum makan. Alhasil, nasi senampan pemberian Kyai Khalil dengan lahap dihabiskan tanpa sisa. Mengetahui hal itu, Kyai Khalil seketika berkata, “Ini orangnya yang akan menghabiskan ilmuku.”
IV. RIYADHAH DI MAKAM AULIYA MADURA
Riyadhah sudah menjadi bagian hidup Mbah Ma’roef. Selama nyantri pada Kyai Khalil, kegandrungannya dalam hal riyadhah semakin menjadi-jadi. Selama nyantri di Bangkalan ini pula beliau mempunyai kebiasaan baru yaitu berziarah ke makam-makam keramat para auliya se-Madura. Di makam tersebut, beliau bukan sekedar ziarah biasa tetapi makamnya disowani dan ditirakati sehingga beliau bisa berdialog langsung dengan si penghuni makam. Tujuan beliau riyadhah di makam-makam keramat tersebut tiada lain karena beliau ingin memiliki ilmu “Sak mlumahe bumi lan sak mengkurepe langit” yaitu ingin memiliki ilmu seluas bumi dan langit tanpa harus belajar. Artinya, beliau ingin mendapat ilmu laduni.
Sudah demikian banyak makam keramat yang beliau datangi, namun kesemuanya memberikan jawaban kalau ingin alim harus belajar dulu. Jawaban tersebut mengecewakan Mbah Ma’roef. Lha wong ingin dapat ilmu tanpa harus belajar kok disuruh belajar.
Terakhir, beliau riyadhah di makam yang berada di Bujuk Sangkak. Sebagaimana yang sudah-sudah di sana beliau juga tirakat hingga bisa ditemui oleh penghuni makam.
“Hai, anak muda mengapa kamu tirakat di sini?”. “Saya santri Bangkalan ingin jadi orang alim. Do’akan saya agar diberi ilmu laduni.” Pinta Mbah Ma’roef. Jawaban penghuni makam tersebut lain dari pada yang lain.
“Bisa, kamu bisa mendapat ilmu laduni tapi tirakatmu masih kurang.” Mbah Ma’roef langsung menangis sedih dan putus asa. “Saya sudah tirakat seperti ini kok ya masih kurang.” Dengan rasa putus asa beliau kembali ke pondok dan terus menangis. Kyai Khalil mengetahui apa yang dirasakan muridnya kemudian beliau bertanya kepada Mbah Ma’roef. “Ma’roef, sudah berminggu-minggu kamu tidak berada di pondok, pergi kemana saja kamu?” Tanya Kyai Khalil.
“Saya riyadhah di kuburan wali-wali, mereka semua tidak bisa memberi saya ilmu laduni. Terakhir saya riyadhah di Bujuk Sangkak, katanya saya bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi riyadhah saya masih kurang. Riyadhah yang bagaimana lagi yang mesti saya lakoni, padahal semua riyadhah sudah saya jalankan.”
“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi yakni makam Mbah Abu Syamsuddin di Batu Ampar. Beliau wali besar. Semalam saya bertemu Mbah abu Syamsuddin, beliau menyuruh saya menulis di kuburannya. “Siapa yang bisa mengkhatamkan al-Qur’an sekali duduk, apapun keinginannya akan tercapai. “Mbah Ma’roef langsung berangkat ke Batu Ampar dan mengkhatamkan al-Qur’an dari Shubuh sampai Ashar sekali duduk.
Selesai mengkhatamkan qur’an seketika datang angin Lysus menerjang tubuh beliau. perasaan beliau, saat itu kepalanya dipegang dan ditumpahi nasi kuning hingga beliau muntah berak.
Sepulang riyadhah di makam Mbah Abu Syamsuddin, segala kitab yang ada di pondok Kyai Khalil beliau kuasai. Tercapailah sudah keinginan Mbah Ma’roef untuk memiliki ilmu seluas bumi dan langit tanpa harus belajar.
V. MENDIRIKAN PONDOK KEDUNGLO
Suatu ketika beliau disuruh mertuanya mencari tanah untuk dijadikan pondok pesantren. Mbah Ma’roef tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, beliau lantas tirakat sambil membaca Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali. Akhirnya beliau mendapat alamat, bahwa tanah yang cocok untuk didirikan pondok adalah tanah yang berada di sebelah barat sungai Brantas di antara dua jembatan kembar.
Alamat tersebut lalu dihaturkan kepada mertua berliau. Tetapi mertua dan semua orang kurang setuju dengan tanah pilihan Mbah Ma’roef yang dikenal sebagai tanah supit urang yaitu tanah yang bewujud perairan semacam danau/rawa tidak berupa daratan. Namun Mbah Ma’roef tetap pada pendirianya memilih tanah tersebut dengan mengungkapkan beberapa alasan yaitu Pondok ini nanti akan memiliki beberapa keistimewaan, pertama dekat pasar, kedua dekat sungai, ketiga apabila ke timur sedikit kota. Maka alasan tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.
Setelah tanah tersebut dibeli, maka didirikan sebuah pondok pesantren pada tahun 1901 yang bertempat di sebelah utara (kini lokasi Miladiyah). Pondok tersebut diberi nama Kedinglo. Nama Kedunglo berasal dari kondisi tanah yang waktu itu berupa kedung semacam danau dan disana terdapat pohon Lo yang besar.
Setelah beliau tinggal di Kedunglo maka berduyun-duyunlah para santri ingin menimba ilmu pada beliau. Namun karena beliau tidak suka memiliki banyak santri, maka sebagian santri beliau serahkan kepada Kyai Abdul Karim Lirboyo yang saat itu baru mempunyai beberapa santri saja.
Ketika ditanya mengapa tidak suka mempunyai banyak santri? Beliau menjawab.”Aku emoh memelihara banyak santri. Disamping repot, kalau punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena itu saya mohon kepada Allah, agar santri saya tidak lebih dari 50 orang. Kalau lebih dari lima puluh, ada yang ndugal akhirnya pondok ini jadi rusuh. Memang benar setelah diteliti santri beliau tidak pernah lebih dari 40 orang. Kalau lebih dari empat puluh orang pasti ada yang pulang.
Di pondok Kedunglo disamping sebagai pengasuh, beliau adalah guru tunggal. Jadi beliau tidak mempunyai guru pembantu yang mengajar santri-santrinya. Karena santri-santrinya beliau tangani sendiri, tak heran kalau sepulang mondok di Kedunglo santri-santri beliau menjadi orang-orang alim dan ampuh. Sedangkan santri beliau yang menjadi orang besar antara lain : Mbah Yahi Dalhar Watu Cengo Magelang, Kyai Manab Lirboyo(konon meski sudah memiliki banyak santri masih ngaji di Kedunglo), Kyai Musyafak Kaliwungu Kendal, Kyai Dimyati Tremas, Kyai Bisri Mustof Rembang, Mbah Yahi Mubasyir Mundir, Kyai Marzuqi Solo dan para Kyai Kediri kesemuanya pernah nyantri pada Mbah Ma’roef RA.
Karena beliau adalah seorang alim alamah dan menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka kitab-kitab yang diajarkan beliau adalah kitab-kitab yang tinggi. Bahkan cara beliau mengajar tidak sebagaimana guru-guru sekarang. Untuk mengajar Syarah Al-fiyah saja disamping menerangkan syarahnya beliau juga membahas arudnya (balaghohnya), maka satu pelajaran yang beliau bahas sudah termasuk atau meluas ke mata pelajaran yang lain.
VI. BERORGANISASI
Pada tahun 1926, Mbah KH. Moh. Ma’roef RA mulai menerjunkan diri dalam oragnisasi kemasyarakatan karena diajak oleh sahabatnya yaitu KH. Moh. Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu akan mendirikan Nahdhatul Ulama(NU). Maka setelah NU berdiri sebagaimana yang tertulis di Qonun Asasi (AD/ART) pendirian NU yang pertama, Mbah ma’roef duduk di Mustasyar NU. Selain Mbah Ma’roef ada pula nama Syekh Ghonaim Al-Misri seorang ulama dari Al-Azhar Mesir yang juga menjabat di Mustasyar. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari sendiri pada waktu itu menjabat sebagai Rais Akbar Syuriah NU.
Melihat kedudukan Mbah Ma’roef di organisasi NU saat itu menunjukkan bahwa tingkat keilmuan beliau bertaraf internasional. Karena hanya beberapa ulama tertentu saja yang dapat menduduki jabatan tersebut.
Sebagai penasihat di NU, beliau sering menghadiri muktamar-muktamar NU yang diadakan didaerah-daerah. Dan pada acara tersebut, beliau yang sangat makbul do’anya, langsung didaulat untuk memimpin do’a. Biasanya, jika para ulama NU mengadakan Bahtsul Masail lalu menemui jalan buntu, mereka sowan pada Mbah Ma’roef RA untuk meminta petunjuk pada beliau. dalam hal ini beliau hanya mengatakan, “Masalah itu ada di kitab anu…”. Tanpa menjelaskan detail masalah.
VII. ISTRI-ISTRI DAN PUTRA-PUTRI BELIAU
Menurut riwayat, beliau mempunyai banyak istri, ada yang mengatakan beliau mempunyai istri 22 orang, bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu. Kebiasaan beliau menikah ini konon karena beliau kerap bepergian dalam waktu yang lama dan ingin menebar bibit yang baik. Karena itu hampir setiap daerah yang beliau singgahi, beliau melangsungkan ijab qobul dengan gadis setempat. Ada pula yang mengatakan kalau pernikahan beliau melebihi ketentuan syariat hanya ijab saja, karena orang tua si gadis ingin mengalap berkah pada Mbah Ma’roef Allahu’alam.
Namun dari sekian istri-istri beliau yang diketahui berjumlah lima orang dan yang dikaruniai putra hanya tiga orang saja. Para istri dan putra-putri beliau adalah : pertama nyahi Hasanah binti Shaleh dari Banjar Mlati. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai sembilan putra yaitu: Nyahi Musthoinah, KH. Moh. Yasin, Nyai Aminah, Nyahi Siti Saroh, Siti Asiyah, Nyahi Romlah, KH. Abdul Madjid, Kyai Ahmad Malik, Qomaruzzaman (wafat ketika masih kecil). Istri kedua, Nyahi Maunah dari Klampok Arum Badal mempunyai putri bernama Fatimah. Istri ketiga, Nyahi Masyrifah dari Sanggrahan mempunyai dua putra, yakni : Moh. Zainuddin (wafat ketika masih kecil) dan Maimunah. Istri keempat dan kelima tidak diketahui namanya namun diketahui berasal dari Prambon Nganjuk dan Gampeng Kediri. Riwayat lain mengatakan beliau juga mempunyai istri dan keturunan di Bangkalan Madura.
VIII. KEPRIBADIANNYA
Konon Mbah Yahi Ma’roef RA terkenal memiliki temperamen yang keras, menurut Kyai Baidhawi, temperamen Mbah Ma’roef menurun kepada cucunya yaitu KH. Abdul Latif Madjid. Kalau Mbah Ma’roef sedang marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau beliau sedang marah dan sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi akan celaka betul.
Temperamen yang keras barangkali disebabkan karena sejak kecil beliau sudah yatim piatu dan kurang kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi untuk bertahan hidup beliau harus bekerja keras dibarengi tirakat. Sehingga dapat dipastikan beliau lebih banyak puasa dari pada tidak.
Mbah Ma’roef Ra semasa hidupnya senang bersilahturahmi. Karena itulah beliau sering meninggalkan pondok Kedunglo untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya, murid-muridnya bahkan orang-orang biasa dalam waktu yang lama.
Sifat-sifat yang lain, beliau adalah orang yang terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada beliau hampir semua diceritakan pada keluarga beliau dan murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang sifatnya umum sampai yang pribadi.
Kepada para santrinya, beliau sangat perhatian. Karena itu seluruh santri-santri beliau, beliau sendiri yang mendidiknya hingga si santri menjadi orang. Kedekatan beliau dengan para santri tak ubahnya seperti seorang ayah kepada anaknya. Karena itu beliau sangat dihormati dan disayangi oleh para santrinya.
Mbah Ma’roef juga dikenal sangat dermawan. Dermawan dalam hal harta maupun do’a-do’a. dapat dipastikan semua orang yang meminta harta maupun do’a kepada beliau tidak pernah ditolaknya. Pernah suatu ketika beliau memberi ongkos kepada orang yang ingin pergi haji. Padahal di waktu yang sama putra beliau Gus Madjid berada dalam kemiskinan. Ketika ditanya, mengapa uang untuk ongkos naik haji itu tidak diberikan saja kepada putranya? Dengan penuh makna beliau menjawab. Madjid itu anak shaleh. Dia ditanggung langsung oleh Allah. Para tamu yang kelaparan, beliau beri makan hingga kenyang. Yang jelas, siapapun yang pernah hidup di zamannya dan meminta tolong pada beliau merasakan betapa beliau seorang yang sangat perhatian pada sesamanya.
Meski beliau mempunyai ilmu seluas bumi dan langit, serta terkenal doanya di-ijabahi seketika dan beliau sendiri sangat sering mendemontrasikan kekeramatannya, namun beliau ternyata seorang yang sangat tawadhu dan menjaga anak keturunannya agar juga memiliki sifat tawadhu dalam arti tidak membangga-banggakan keturunannya. Beliau pernah berkata pada salah seorang santri kepercayaannya, “Aku ini punya catatan silsilah keluargaku, namun karena aku khawatir nanti anak turunku membanggakan nasabnya, maka catatan itu aku titipkan pada Kyai Abu Bakar (Bandar Kidul).”
Lalu bagaimana hubungan beliau dengan keluarganya? Beliau dalan hal mendidik putra-putrinya sangat keras dan disiplin. Karena itu beliau menangani sendiri pendidikan putra-putrinya. Beliau juga sangat menekankan kepada putra-putrinya untuk senantiasa membaca shalawat “Shallallahu ala muhammad”. Tak terkecuali putra beliau yang baru bisa bicara dan masih cendal juga diwajibkan membaca shalawat sebanyak 100x. Bagi putranya yang sudah lancar bicara harus membaca shalawat sebanyak 1000x, dan sejumlah 10.000x bagi yang sudah baligh. Karena mendapat bimbingan langsung dari Mbah Ma’roef, tak pelak putra-putri beliau tumbuh menjadi seorang yang cerdas, alim dan ampuh.
Utnuk mendekatkan hubungan batin antara ayah dan anak juga cucu, beliau sering mendongengi putra dan cucu-cucunya kisah-kisah teladan sebelum tidur. Beliau juga mengajari mereka do’a-do’a lain menjelang tidur. Namun setelah mbah Nyahi Hasanah wafat dan Mbah Ma’roef menikah lagi, seakan ada jarak antara ayah dan anak. Konon putra dan putri beliau tidak berani mendekat kalau tidak dipanggil. Mbah Ma’roef juga berpesan kepada Mbah Ruba’i santri kesayangannya apabila para putranya menginginkan sesuatu agar disampaikan melalui Mbah Ruba’i. Maka kalau putra beliau mau minta uang kepada beliau Mbah Ruba’i lah yang diminta tolong agar menyampaikan kepada ayahnya. Dan melalui Mbah Ruba’i itu pula para putra mendapatkan uang. Hanya satu putra beliau yang tidak pernah meminta tolong kepada Mbah Ruba’i untuk meminta sesuatu kepada ayahnya, yaitu Agus Abdul Madjid.
IX. PERGI HAJI BERSAMA ISTRI
Pada tahun 1918, Mbah Yahi Ma’roef RA menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya dengan mengajak Mbah Nyahi Hasanah RA yang saat itu sedang mengandung putra ketujuh. Karena naik haji pada masa itu ditempuh dalam waktu setengah tahun lebih, maka kelahiran putra lelaki yang tampan dan sehat di tempat yang mulia dan mubarokah disambutnya dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Maka Mbah Ma;roef lantas memberikan nama bayi tersenut “Abdul Madjid”.
(sedangkan menurut penuturan Mbah Nyahi Romlah Ma’roef. Mbah Yahi Madjid QS wa RA di lahirkan di Kedunglo. Dan diajak ke Makkah saat beliau baru berusia 1,5 tahun).
Setiap memasuki jam dua belas malam, Mbah Ma’roef menggendong bayinya yang masih merah ke Baitullah dibawah Talang Mas. Di sana, beliau memanjatkan do’a agar bayi dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang shaleh hatinya.
Selama berada di Makkah, Agus Madjid yang juga di khitan disana akan diadopsi oleh salah satu ulama Makkah. Akan tetapi Mbah Nyahi Hasanah tidak mengizinkan sehingga Agus Madjid tetap berada dalam asuhan kedua orang tuanya sendiri.
X. BERJUANG DENGAN KEAMPUHAN DO’A NYA
Sumbangsih Mbah Ma’roef kepada negara di zaman perjuangan mengusir penjajah amatlah besar. Hal ini beliau tunjukkan saat pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya meledak. Bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah (ayah Mbah Nyahi Shafiyah RA) beliau turut ke medan pertempuran walau berada di garis belakang sebagai tukang do’anya. Berkat do’a Mbah Ma’roef, tak jarang bom yang meledak berubah menjadi butiran-butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diriwayatkan oleh murid-muridnya yang juga turut berperang, para tentara dan santri yang ikut berjuang kebal dengan berbagai senjata setelah diasmai oleh Mbah Ma’roef.
Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong unik. Pertama setelah pasukan dibariskan, beliau menyuruh mereka agar minum air jeding di utara serambi Masjid. Selanjutnya beliau berdo’a yang diamini oleh pasukan pejuang. Di antara do’anya, “Allahumma salimna minal bom wal bunduq, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat manjur. Terbukti pada semua tentara yang sudah beliau isi kebal aneka senjata.
Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-apa malah punggungnya ngecap martil sebesar ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga mengikuti pertempuran di Surabaya. Kabarnya kaki –nya juga terkena bom tapi tidak apa-apa.
Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri) Rembang, di zaman itu pernah di kejar-kejar penjajah Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo minta perlindungan kepada Mbah Ma’roef. Kemudian Mbah Ma’roef mengijazahi sebuah do’a, setelah diamalkan beliau selamat dari incaran orang Jepang. Berkat jasa Kyai Kedunglo, beliaupun lalu mewasiatkan kepada anak cucunya agar terus mengamalkan do’a pemberian Mbah Ma’roef, doa tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa diabadikan dalam buku terjemah Burdah. Itulah Mbah Ma’roef, memanfaatkan keampuhan do’anya dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
XI. KEKERAMATANNYA
Berbicara mengenai kekeramatan Mbah Yahi Ma’roef RA seakan tidak ada habisnya. Orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau dan pernah bergaul dengan beliau dipastikan pernah menyaksikan dan merasakan langsung kekeramatan beliau. dan siapapun tidak akan menyangkal bahwa kekeramatan beliau terletak pada keampuhan do’anya yang di-ijabahi dalam waktu sekejab, ucapannya “sabda pandhito ratu” dan firasatnya tak pernah meleset.
Hebatnya lagi meski Mbah Yahi Ma’roef RA sudah wafat tapi orang-orang sepeninggal beliau, yang mujahadah di makam beliau juga turut pula merasakan kekeramatan beliau. berikut ini adalah sebagian kecil kekeramatan Mbah Yahi Ma’roef RA:
Diriwayatkan oleh Ibu Nurul Ismah Madjid dari pak Pardi dari Kyai Ridwan santri Mbah Ma’roef yang berasal dari Pagu Kediri. Beliau bercerita, “Suatu hari Mbah Ma’roef RA mengajak Kyai Ridwan ke Dhoho. Kebetulan saat itu sungai Brantas banjir hingga airnya meluap dan tidak ada rakit buat menyeberang. Hendak berjalan lewat utara terlalu jauh. Akhirnya Mbah Ma’roef berkata kepada santrinya, “Yakh…terpaksa kita menyeberangi sungai. Ridwan berdirilah dibelakangku dan pegangi jubahku.” Kemudian keduanya berjalan diatas permukaan sungai hingga tiba di tepi sebelah timur. Ajaibnya meski kaki Mbah Ma’roef menyentuh air tapi sama sekali tidak basah. Sedangkan Kyai Ridwan hanya basah sampai mata kaki.
Dikisahkan oleh Mbah Yusuf santri Mbah Ma’roef dari Tawansari Tulung Agung (paman Mbah Nyahi Shofiyah RA). Suatu hari datang seorang tamu mengantar surat untuk Mbah Ma’roef RA. Sepeninggal tamu tersebut, Mbah Ma;roef membalas surat tersebut dengan menyuruh salah satu santrinya agar menghanyutkan surat itu ke sungai berantas. Mendapat perintah aneh si santri berkata, “Lho kok dimasukkan ke sungai Kyai?”, “Sudah kerjakan perintahku!” Meski tidak mengerti si murid itu melaksanakan juga perintah Mbah Ma’roef memasukkan surat ke dalam sungai. Anehnya, begitu surat tersebut ditaruh di atas air, surat itu berjalan diatas permukaan air. Lebih aneh lagi surat itu berjalan melawan arus sungai. Akhirnya surat tersebut tiba juga pada alamat yang dituju dalam keadaan utuh tidak basah apalagi rusak karena air.
Diriwayatkan dari Kyai Baidhawi. Dulu semasa Mbah Ma’roef masih sugeng. Nabi Khidir sering datang ke Kedunglo menjumpai Mbah Ma’roef, dan kerap Nabi Khidir bermalam di panggung utara.
Diriwayatkan oleh Mbah Yahi Makhsun dari Mojo Kediri. Mbah Makhsun adalah salah satu santri Mbah Ma’roef RA, namun setelah Mbah Ma’roef wafat beliau lalu nyantri ke pondok lain, ibunya bingung ditinggal Mbah Makhsun. Mau disuruh pulang, tetapi si ibu tidak tahu kemana perginya sang putra. Akhirnya si ibu mujahadah dimakam Mbah Ma’roef RA. “Mbah Ma’roef…..tolong, kembalikan putra saya.“ Ratap si ibu di depan makam. Sementara si ibu sedang meratap di depan makam. Di pondok barunya, Mbah Makhsun menerima sepucuk surat dari Kyai Ma’roef Kediri yang isinya menyuruh Mbah Makhsun pulang. Sontak para pengurus keheranan, lalu surat tersebut dihaturkan kepada Kyainya. Barulah mereka tahu, kalau ternyata Mbah Makhsun pernah menjadi santri kesayangan Mbah Ma’roef ini bukanlah orang sembarangan.
XII. WASIAT & DETIK-DETIK MENJELANG BELIAU WAFAT
Pada hari-hari terakhir menjelang wafatnya, beliau yang memiliki do’a-do’a ampuh untuk segala macam urusan beliau tulis keseluruhannya di papan tulis. Kemudian beliau menyuruh santrinya untuk menulis do’a-do’a yang disukai. Dengan senang hati para santri segera menulis do’a-do’a tersebut lalu disowankan kepada gurunya. Do’a-do’a pilihan yang sudah ditulis di kertas itu oleh Mbah Ma’roef hanya ditiup saja. Beliau juga sering berwasiat kepada tamunya yang sowan dan minta petunjuk. Agar mengamalkan shalawat saja. Lebih jelasnya beliau mengatakan kalau di Kedunglo nanti akan lahir shalawat yang baik.
Wasiat serupa juga diwasiatkan kepada Mbah Khomsah familinya saat minta restu akan mengikuti ba’iat thariqah yang dihadiri oleh Kyai Romli dari Nganjuk. Beliau dawuh, “Sah, jangan ikut bai’at thariqah. Thariqah itu berat. Untuk orang yang punya uang ndak kuat. Sepeninggalku nanti, disini (Kedunglo) akan ada shalawat yang baik, tunggulah kamu akan menjumpai shalawat itu.” Terbukti, tujuh tahun setelah Mbah Ma’roef wafat shalawat yang dinantikan yakni shalawat Wahidiyah lahir. Maka seluruh keluarga Mbah Khomsah langsung mengamalkan Shalawat Wahidiyah.
Pada detik-detik menjelang wafatnya, Mbah Ma’roef yang sudah berusia 103 tahun dan tidak kuat naik ke masjid, tidak biasanya beliau menyuruh murid-muridnya yang dari Mojo (Mbah Makhsun, Mbah Ruba’i, Mbah Mahfud dan Mbah Mukhsin) agar mengajar anak-anak kecil pakai papan tulis. Padahal jangankan mengajar mau sekolah saja empat sekawan tersebut oleh Mbah Ma’roef tidak diperkenankan.
Dalam kepayahannya karena sakit, beliau masih memikirkan pembangunan pondoknya dengan menyuruh Mbah Makhsun dan Mbah Siyabudin mencari uang untuk membangun pondok. Mbah Makhsun dan Mbah Siyabudin ke Surabaya, Gresik dan Malang melaksanakan perintah Mbah Ma’roef. Ketika masih di Surabaya, Mbah Makhsun mimpi ditemui Mbah Ma’roef yang menyuruhnya pulang karena dimasakkan kepala Kambing.
Kelihatan sekali kalau sang pendiri pondok Kedunglo sangat dermawan. Meski ajal akan menjemput, beliau masih juga berpikir untuk shodaqoh. Maka dengan tangan lemas lemah lunglai beliau membuka-buka kasur dan bantal mencari uangnya. Mbah Nyahi Romlah sang putri melihat kelakuan aneh ayahnya sampai menegur, “Pak, sakit-sakit kok mencari uang buat apa?”. “Wo. Kamu ini bagaimana, ya buat shadaqah.”
Akhirnya, pada hari Rabu Wage ba’da Maghrib di bulan Muharrom tahun 1375 H / 1955 M beliau menghadap kehadirat Allah SWT dengan tenang. Dan pada hari Kamis beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Kedunglo sebagaimana permintaan beliau sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
salam persahabatan